(Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara LOKANTARA, hp. 087864404347)
A. Candi Borobudur sebagai Warisan Budaya Dunia
Candi Borobudur merupakan warisan peninggalan kebudayaan Budha yang dibangun secara megah, mewah dan indah. Bangsa Indonesia pantas berbangga atas sejarah peradaban masa silam. Nenek moyang telah memberi inspirasi bagi generasi sekarang untuk membuat karya yang mengagumkan.
Perlu kiranya proses pembangunan candi Borobudur itu dikaitkan dengan lingkungan ekologis, historis, dan filosofis. Secara historis pembangunan candi Borobudur dilakukan oleh Wangsa Syailendra. Saat memerintah kerajaan Mataram Budha. Dengan berbekal ketrampilan dan pengetahuan yang memadai Borobudur dibangun dengan segala nilai estetis nan abadi.
Lingkungan kebudayaan yang melingkupi candi Borobudur meliputi persawahan, perkebunan, dan pegunungan. Sawah sebagai sentra aktivitas pertanian melambangkan kemakmuran. Perkebunan selalu berhubungan dengan tanaman komoditas yang memperlancar roda perekonomian. Gunung Merapi, Merbabu, Telamaya, Ungaran, Tidar, Menoreh, Sindoro dan Sumbing menjadikan candi Borobudur bertambah menawan. Pemandangan yang elok ini tetap abadi lestari.
Kebudayaan Jawa asli berbentuk animisme dan dinamisme. Animisme adalah sistem kepercayaan yang meyakini adanya ruh-ruh nenek moyang. Sedangkan dinamisme adalah kepercaya-an yang meyakini adanya kekuatan ghaib pada benda-benda keramat. Bersamaan dengan itu, kemudian muncul agama Hindu yang berasal dari India. Kepercayaan orang Jawa pun mengalami perubahan. Dalam agama Hindu dikenal sistem kekuasaan yang berupa konsep dewa raja.
Samaratungga adalah raja Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra, penganut agama Budha Mahayana. Raja Samaratungga ini mempunyai karya monumental, yaitu Candi Borobudur. Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyat.
Dari naskah-naskah berbahasa Jawa Kuno seperti Kitab Canda Karana, Agastya Parwa, Adi Parwa, Saba Parwa, Swarga-rohana Parwa, Arjuna Wiwaha, Hari Wangsa, Wreta Sancaya dan Kunjara Karna, dapat ditelusuri bahwa dasar-dasar pandangan hidup Jawa sudah berlangsung sejak kuno. Salah satunya adalah pandangan hidup tentang dusun. Raja menjadikan para prajurit-prajuritnya untuk mengepalai dusun dan mempertahankan dusun sebagai tempat tinggalnya itu dari serbuan musuh. Sikap setia kepada dusun sebagai tanah yang disakralkan.
Putri Samartungga yang terkenal cerdas dan cantik jelita adalah Pramodha Wardhani. Pramodha Wardhani juga bergelar Sri Kahulunan, artinya seorang sekar kedhaton yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodha Wardhani kelak menjadi permaisuri raja Rakai Pikatan. Pasangan suami istri ini sangat legendaris di mata rakyat Jawa.
Keharmonisannya membuat rakyat Mataram bertambah aman dan damai. Hanya saja, adik Pramodha Wardhani yang bernama Balaputra Dewa kurang terkenal. Akhirnya dia merantau ke Sumatra dan mendirikan kerajaan Palembang. Dalam menjalankan pemerintahan dan keagamaan, Pramoda Wardhani menggunakan pedoman Wahyu Kadewan sebagai berikut:
Dalam Serat Pustaka Raja Purwa, raja dalam mengatur agama dengan ilham dari dewa. Seorang raja dari Kerajaan Purwacarita yang menguasai seluruh Jawa, yakni Sri Maha Punggung atau Sri Maharaja Kano, dianggap merupakan peletak dasar keagamaan orang Jawa, karena ia mendapat wahyu kadewan. Kata kano berasal dari kata kanwa, sama dengan katong dari kata katwang yang artinya adalah raja. Sejak saat itu, orang Jawa dibagi dalam enam agama yakni Brahma, Wisnu, Indra, Bayu, Sambo dan Kala. Masing-masing memiliki ritual yang berbeda-beda. Lebih lengkapnya, wahyu kadewan tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Ini ketetapan agama yang dikuasakan kepadamu, menguasai alam, penguasa yang menjadi penegak kebenaran. Hai Kano, semua orang harus tunduk dan tunduk kepada agamanya serta melaksanakan pernata agama yakni penghulu, identitas diri, cara beribadah, laku, tapa, hari raya, larangan, wewenang, wasiat, kematian, perbuatan dan jalan kemuliaannya. Ingatlah Panata Gama ini:
Balaputra Dewa adalah putra Raja Samaratungga yang beragama Budha. Ibunya bernama Dewi Tara. Prasasti Ratu Baka tahun 856 menyebutkan bahwa telah terjadi perebutan kekuasaan yang merupakan tuntutan atas tahta kerajaan di Jawa Tengah dari Balaputra Dewa terhadap Rakai Pikatan. Adapun yang menjadi sebab tuntutan tersebut kemungkinan besar ialah Balaputra merasa irihati melihat kekuasaan dan pengaruh Rakai Pikatan di Jawa Tengah setelah Samaratungga wafat.
Karena Rakai Pikatan berasal dari dinasti Sanjaya, maka Balaputra tidak setuju. Balaputra merasa berhak atas tahta kerajaan di Jawa Tengah, karena dia anak laki-laki Samaratungga yang berdarah Syailendra. Dalam peperangan tersebut pihak Balaputra mengalami kekalahan, tetapi dia tidak terbunuh dan dalam posisi diburu oleh Rakai Pikatan. Kemudian ia melarikan diri ke Sumatera, akhirnya ia menjadi raja di Sriwijaya.
Balaputra Dewa akhirnya bermukim di Palembang. Dia mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Sengketa di Tanah Jawa berakhir dengan jaya di Swarnadwipa. Sriwijaya pun kelak dapat tampil sebagai kerajaan maritim yang gemilang dan kondang. Pedoman yang digunakan oleh Balaputra Dewa dalam menjalankan roda pemerintahan adalah lima perilaku terpuji.
Istilah Borobudur berasal dari kata bara = biara, budur = tinggi. Bangunan Candi Borobudur terdiri dari tiga bagian yaitu: kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu. Kamadhatu, Merupakan alam bawah, tempat bersemayamnya manusia lumrah. Secara simbolis mengandung arti tingkat manusia dalam usia kanak-kanak, yang masih tergoda oleh kesenangan duniawi, bermain-main, hedonis rekreatif, dan egoistis.
Rupadhatu, Merupakan alam antara tempat bersemayamnya manusia yang sudah mencapai tingkat kedewasaan. Manusia yang bertanggung jawab, sungguh-sungguh berusaha untuk mencapai cita-cita, seimbang, dan humanistik. Arupadhatu, Merupakan alam atas tempat bersemayamnya manusia yang telah mencapai kesempurnaan hidup, insan kamil, makrifat dan waskitha ngerti sadurunge winarah.
Candi Borobudur terletak di Magelang dengan dikelilingi gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro dan Menoreh. Di dekat juga terdapat Candi Pawon, Candi Mendut dan Candi Sewu. Ketiga candi ini adalah warisan Dinasti Syailendra yang meme-rintah antara tahun 778 abad 10 di Jawa Tengah. Dinasti Syailendra berasal dari India.
Pembagian strata dalam Candi Borobudur itu melambangkan cipta, rasa dan karsa manusia. Istilah cipta dalam buda-ya Jawa populer dengan adanya nama Begawan Ciptaning, yaitu nama tokoh Arjuna ketika sedang melakukan tapa brata di Wukir Indrakila. Juga istilah keplasing cipta yaitu ketajaman nalar menerobos batas ruang dan waktu.
Istilah cipta lebih dekat pada aspek logika, penalaran dan kebenaran. Olah pikir sama dengan olah cipta, yaitu kegiatan pemikiran untuk memperoleh kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Kemajuan teknologi selalu didukung oleh kebenaran ilmiah dan logis. Kalau tidak sesungguhnya perkembangan teknologi itu tidak jauh dari ilmu pertukangan saja. Di Indonesia, lembaga pendidikan formal dari SD sampai Perguruan Tinggi dituntut untuk mengembangkan keilmiahan dengan cara menemukan metode baru dalam setiap harinya.
Rasa dalam budaya Jawa mendapat apresiasi yang cukup tinggi. Adanya istilah bawa rasa, angon rasa, rasa pangrasa menunjukkan orang Jawa sangat peduli dengan aspek perasaan. Dalam istilah kefilsafatan rasa dekat dengan konsep estetika. Menjaga perasaan berarti menghormati batin orang lain agar tidak sakit hati dan terluka. Pikiran, ucapan dan tindakan yang selalu angon rasa berarti berhati-hati terhadap apapun produk ucapan dan sikap, jangan sampai mengganggu perasaan orang lain.
Orang yang egois dan materialis sulit sekali memahami perasaan orang lain. Tentu saja, sikap yang kurang memperhatikan orang lain akan membuat persahabatan menjadi mudah renggang. Persaudaraan yang hanya dilandasi pikiran untung rugi biasanya tidak akan langgeng.
Karsa berarti kehendak, kemauan, keinginan atau tekad bulat untuk diwujudkan dalam kenyataan. Dengan demikian karsa berarti lebih dekat dengan nilai perjuangan. Dalam ilmu filsafat karsa erat kaitannya dengan nilai kebaikan.
Tokoh Bima dalam wayang, menggambarkan tekad kuat dan suci serta gigih dalam mencapai cita-cita. Lakon Bimasuci yang mengisahkan cita-cita Bima untuk mencari air kehidupan, dilakukannya dengan sepenuh tekad yang sangat patut diteladani. Setelah bertemu dengan yang dicari, kemudian Bima pun menyebarkan pengalamannya pada orang lain. Di Pertapaan Argakelasa ia membuka padepokan ilmu pengetahuan yang digunakan untuk menyebarkan ilmu kepada orang lain.
Keberadaan candi Borobudur menjadi perhatian utama kasultanan Pajang. Secara khusus raja Pajang mengutus Ki Ageng Karotangan untuk mengelola candi Borobudur. Bertempat di daerah Paremono, Muntilan, Magelang.